Selasa, 20 Desember 2011

Cinta satu

Biarkan cinta itu bicara pada saat-saat terpentingnya; di mana hidup adalah realita. Tumpahkan rasa asmara yang telah lama imsak; ketika masa puber berontak, semasa jiwa muda berteriak, dalam mengarungi bahtera keluarga yang sah. Karena di sinilah tempat cinta. Dan untuk ini teriakan jiwa muda. Ia adalah muara cinta yang suci nan abadi.


Kalau kita tahu, bahwa cinta itu bermuara, cinta itu suci layak untuk dipelihara, mengapa kita harus terjebak dalam kata-kata cinta yang membosankan --bukan pada tempatnya dan tak jelas ujung-ujungnya? Lalu kalau kita sepakat bahwa cinta itu bertempat, kenapa kita harus membuang-buang tenaga, menguras otak dan mengosongkan jiwa demi mengejar asmara di luar arenanya? Bukankah menunggu beduk menahan lapar untuk berbuka puasa, akan terasa indah dan nikmat saat tiba waktu berbuka? Pupuklah cinta dengan siraman kasih ilahi, sampai rampung bangunan keluarga tempat cinta itu bersemi.


Masa remaja, memang seakan terasa hampa tanpa nuansa asmara dan cinta. Sebab pada masa-masa itu cinta mulai memahami fitrahnya, mulai berani ungkapkan rasa, tapi ia sebetulnya masih baru belajar rahasia. Mahatma Ghandi pernah berkata: "Cinta tidak pernah meminta, ia senantiasa memberi, cinta membawa penderitaan, tetapi tidak pernah berdendam, tak pernah membalas dendam. Di mana ada cinta di situ ada kehidupan; manakala kebencian membawa kepada kemusnahan". Makanya, cinta itu harus terangkum dalam bangunan keluarga. Muara cinta.


Tak heran, kalau Hamka pernah mengartikan cinta sebagai harapan masa depan yang indah, kala ia ditempatkan pada tempatnya yang sah, tapi bila sebaliknya, ia tak lebih dari sebuah durjana, beliau berkata: "Cinta itu adalah perasaan yang mesti ada pada tiap-tiap diri manusia, ia laksana setetes embun yang turun dari langit, bersih dan suci. Cuma tanahnyalah yang berlain-lainan menerimanya. Jika ia jatuh ke tanah yang tandus, tumbuhlah oleh kerana embun itu kedurjanaan, kedustaan, penipuan, langkah serong dan lain-lain perkara yang tercela. Tetapi jika ia jatuh kepada tanah yang subur, di sana akan tumbuh kesuciaan hati, keikhlasan, setia budi pekerti yang tinggi dan lain-lain perangai yang terpuji".


Indah betul cita rasa cinta yang suci dan sejati, hasilnya adalah kepuasan hati. Sayangnya banyak orang hanya melihat hasilnya saja, kemudian ia beranjak brutal dan tak melihat batas-batas etika, bahkan buta norma-norma. Dengan lantang banyak orang mengatakan: "Demi sebuah cinta, aku mau melakukan apa saja". Padahal –sebenarnya-- ia telah melakukan tindak pidana, memenjarakan sekeping hati manusia, bahkan merusak tatanan sosial atas nama cinta. Karena cinta dibiarkan ada begitu saja, tanpa batas, tanpa muara.


Kemuadian apa hasilnya? Aborsi, membunuh jiwa nan suci. Haruskah??
Dalam fenomena aborsi, mestinya banyak hal yang harus diamati. Ukurlah kekecewaan bayi-bayi yang terpaksa dilecehkan, bahkan dibuang hanya karena ia merasa tidak aman. Ia merasa sengsara karena harus berada dalam nuansa cinta yang tak bertempat dan nyasar di mana-mana. Walaupun, sebenarnya bayi itu akan sangat bahagia dan berpotensi besar untuk membahagiakan aktor cinta, bila ia berada dalam bangunan yang kuat --walau sangat sederhana--, yaitu keluarga sakinah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar