Biarkan cinta itu bicara pada saat-saat terpentingnya; di mana hidup adalah realita. Tumpahkan rasa asmara yang telah lama imsak; ketika
masa puber berontak, semasa jiwa muda berteriak, dalam mengarungi
bahtera keluarga yang sah. Karena di sinilah tempat cinta. Dan untuk ini
teriakan jiwa muda. Ia adalah muara cinta yang suci nan abadi.
Kalau
kita tahu, bahwa cinta itu bermuara, cinta itu suci layak untuk
dipelihara, mengapa kita harus terjebak dalam kata-kata cinta yang
membosankan --bukan pada tempatnya dan tak jelas ujung-ujungnya? Lalu
kalau kita sepakat bahwa cinta itu bertempat, kenapa kita harus
membuang-buang tenaga, menguras otak dan mengosongkan jiwa demi mengejar
asmara
di luar arenanya? Bukankah menunggu beduk menahan lapar untuk berbuka
puasa, akan terasa indah dan nikmat saat tiba waktu berbuka? Pupuklah
cinta dengan siraman kasih ilahi, sampai rampung bangunan keluarga
tempat cinta itu bersemi.
Masa remaja, memang seakan terasa hampa tanpa nuansa asmara
dan cinta. Sebab pada masa-masa itu cinta mulai memahami fitrahnya,
mulai berani ungkapkan rasa, tapi ia sebetulnya masih baru belajar
rahasia. Mahatma Ghandi pernah berkata: "Cinta tidak pernah meminta, ia
senantiasa memberi, cinta membawa penderitaan, tetapi tidak pernah
berdendam, tak pernah membalas dendam. Di mana ada cinta di situ ada
kehidupan; manakala kebencian membawa kepada kemusnahan". Makanya, cinta
itu harus terangkum dalam bangunan keluarga. Muara cinta.
Tak
heran, kalau Hamka pernah mengartikan cinta sebagai harapan masa depan
yang indah, kala ia ditempatkan pada tempatnya yang sah, tapi bila
sebaliknya, ia tak lebih dari sebuah durjana, beliau berkata: "Cinta itu
adalah perasaan yang mesti ada pada tiap-tiap diri manusia, ia laksana
setetes embun yang turun dari langit, bersih dan suci. Cuma tanahnyalah
yang berlain-lainan menerimanya. Jika ia jatuh ke tanah yang tandus,
tumbuhlah oleh kerana embun itu kedurjanaan, kedustaan, penipuan,
langkah serong dan lain-lain perkara yang tercela. Tetapi jika ia jatuh
kepada tanah yang subur, di sana akan tumbuh kesuciaan hati, keikhlasan, setia budi pekerti yang tinggi dan lain-lain perangai yang terpuji".
Indah
betul cita rasa cinta yang suci dan sejati, hasilnya adalah kepuasan
hati. Sayangnya banyak orang hanya melihat hasilnya saja, kemudian ia
beranjak brutal dan tak melihat batas-batas etika, bahkan buta
norma-norma. Dengan lantang banyak orang mengatakan: "Demi sebuah cinta,
aku mau melakukan apa saja". Padahal –sebenarnya-- ia telah melakukan
tindak pidana, memenjarakan sekeping hati manusia, bahkan merusak
tatanan sosial atas nama cinta. Karena cinta dibiarkan ada begitu saja,
tanpa batas, tanpa muara.
Kemuadian apa hasilnya? Aborsi, membunuh jiwa nan suci. Haruskah??
Dalam
fenomena aborsi, mestinya banyak hal yang harus diamati. Ukurlah
kekecewaan bayi-bayi yang terpaksa dilecehkan, bahkan dibuang hanya
karena ia merasa tidak aman. Ia merasa sengsara karena harus berada
dalam nuansa cinta yang tak bertempat dan nyasar di mana-mana. Walaupun,
sebenarnya bayi itu akan sangat bahagia dan berpotensi besar untuk
membahagiakan aktor cinta, bila ia berada dalam bangunan yang kuat
--walau sangat sederhana--, yaitu keluarga sakinah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar